Kamis, 06 Agustus 2009

Masalah dalam Pendidikan Non Formal

Memperoleh pekerjaan adalah impian banyak siswa maupun mahasiswa setelah mereka mampu menyelesaikan sautu jenjang pendidikan tertentu, hal ini tentu bukanlah hal yang keliru karena mindset masyarakat saat ini ketika menyekolahkan anak-anaknya adalah untuk dapat bekerja. Namun satu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah saat ini adalah kesempatan kerja yang tersedia sangatlah terbatas dan tidak berbanding serah dengan lulusan pendidikan. Kesenjangan antara lapangan pekerjaan dan lulusan institusi pendidikan inilah yang mendorong semua pihak untuk berfikir lebih dalam mengenai upaya mengatasi masalah ini. bukanlah hal yang mustahil jika setiap tahun jumlah pengangguran selalu mengalami peningkatan karena ketidak linieran jumlah lapangan kerja dan lulusan institusi pendidikan.

Pengangguran adalah merupakan masalah yang komplek, disamping sebagai akibat, pengangguran juga merupakan sebab dari masalah lainnya seperti tindak kriminal, kemiskinan, kemerosotan tingkat kesehatan, rendahnya tingkat pendidikan dan lain sebagainya, sehingga upaya untuk mengatasi masalah ini juga harus multi disiplin dan multi pendekatan. Bahkan pengangguran saat ini tidak hanya terjadi diperkotaan saja, melainkan sudah merambah ke daerah-daerah perdesaan di seluruh nusantara, yang memungkinkan pengangguran ini masuk dalam kategori masalah nasional yang harus segera diatasi agar tidak menjadi penghambat pembangunan.

Pemerintah saat ini tentu saja tidak tinggal diam, berbagai upaya telah dilakukan termasuk diantaranya dalam kebijakan pendidikan non formal. Saat ini Direktorat Pendidikan Non Formal dan Informal gencar melaksanakan program pendidikan kesetaraan dasar dan lanjutan yang terintegrasi dengan pendidikan kecakapan hidup, program tersebut diantaranya adalah program Kewirausahaan Usaha Mandiri untuk Keaksaraan Fungsional, program Kewirausahaan Desa dan Kewirausahaan Perkotaan untuk Kejar paket B dan C dan lain sebagainya. Tujuannya adalah agar warga belajar disamping mendapatkan ijazah pendidikan yang setara dengan pendidikan formal baik untuk tingkat SD, SLTP maupun SLTA, namun juga mendapatkan dukungan keterampilan yang diharapkan dapat dijadikan bekal bagi peserta didik di masyarakat setelah mereka menyelesaikan program pendidikan tersebut.

Program-program ini disamping melibatkan lembaga pemerintah seperti P2PNFI, BPKB, SKB namun juga melibatkan yayasan yang bergerak dalam bidang pendidikan masyarakat sebagai pelaksana program. Namun dalam kenyataannya program-program tersebut dilaksanakan hanya sebatas pada proyek semata, sehingga tidak ada keberlanjutan setelah proyek pemerintah berhenti. Dari beberapa kasus yang berhasil ditemui di lapangan terkait dengan pelaksanaan program PNF tersebut, tidak sedikit lembaga penyelenggara yang melaksanakan program kecakapan hidup atau kewirausahaan tanpa melalui pembekalan pendidikan terlebih dahulu dan cenderung berorientasi praktis, yang kemudian berdampak pada kemandekan dalam keberlanjutan program. Sebagai contoh yang terjadi di DIY pada tahun 2007 dalam program keakapan hidup budidaya ikan lele, lembaga penyelenggara hanya memanfaatkan bantuan pemerintah untuk membuat kolam lele tanpa memperhatian studi kelayakan infrastruktur maupun sarana dan prasarana penunjang, sehingga setelah beberapa minggu program tersebut berhenti dan yang tersisa hanya kolam ikan kosong.

Dalam kasus lain juga ditemui yayasan yang cukup bertanggung jawab dengan memberikan pembekalan pendidikan kewirausahaan dan materi yang berhubungan dengan bidang kecakapan hidup yang akan dilaksanakan sebelum praktik di lapangan. Hasilnya cukup berbeda, pada kasus pertama program sama sekali tidak memiliki dampak apapun terhadap masyarakat, namun pada kasus yang kedua, masyarakat dapat merasakan manfaat terutama dalam keterampilan yang diajarkan meskipun masih ada permasalahan terkiat dengan pemasaran produk.

Dari dua kasus di atas terlihat bahwa program yang saat ini dilaksanakan masih berorientasi pada penguatan materi kognitif pengetahuan, sementara nilai-nilai yang terkait dengan jiwa kewirausahaan kurang mendapatkan sentuhan, meskpun ada masih sangat terbatas. Baik di sadari atau tidak, pendidikan saat ini seringkali mengabaikan nilai-nilai terutama nilai keagamaan, bahkan cenderung dilupakan dan bahkan lambat laun semakin termarjinalkan dengan berbagai alasan. Padahal nilai-nilai spiritualitas merupakan puncak kesadaran tertinggi dari kehidupan manusia. Lebih jauh lagi, praktik pendidikan hanya memandang manusia sebagai instrumen fisik untuk mempertahankan ideologi yang saat ini dianut oleh dunia barat yaitu kapitalisme.

Salah satu indikator pendidikan saat ini untuk mempertahankan eksistensi paradigma kapitalisme adalah bahwa peserta didik hanya diarahkan untuk menjadi buruh atau tenaga kerja yang berkualitas, bukan semata untuk menjadikan manusia sebagai mahluk mandiri dengan cita-cita mulia yang tinggi, artinya output pendidikan saat ini dipersiapkan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang diskenariokan oleh negara-negara maju untuk mempertahankan eksistensi mereka di negara berkembang. Output keterampilan diarahkan pada kemampuan peserta didik untuk mampu melakukan sesuatu atau menghasilkan sesuatu tanpa dilandasi oleh nilai-nilai yang dapat berfungsi sebagai filter dan pedoman perilaku dalam bekerja.

Tidak dapat dipungkiri bahwa sanya ilmu-ilmu yang berkembang di negara maju banyak yang dikembangkan di negara-negara dunia ketiga bahkan di negara dengan penduduk mayoritas muslim, yang tentu saja bias dengan pandangan negara maju yang notabene adalah negara sekuler. Bahkan teori kebutuhan yang dikemukakan oleh Maslow tentang hierarki kebutuhan tidak menempatkan kebutuhan akan Tuhan (Allah) sebagai kebutuhan dasar manusia. Penggunaan istilah hukum alam dalam memandang fenomena alam adalah merupakan salah satu upaya pengingkaran peran Tuhan terhadap alam semesta, dimana sangat jarang ditemu seorang guru yang kemudian memberikan penyadaran kepada peserta didik bahwa alam semesta adalah sebagai sunatullah, bukan hanya hukum alam semata.

Hal di atas tentu bertentangan dengan esensi pendidikan yang dikemukakan oleh Jonh Dewey yang menyebutkan bahwa: “Anak didik tidak hanya disiapkan agar siap bekerja, tapi juga bisa menjalani hidupnya secara nyata sampai mati. Anak didik haruslah berpikir dan pikirannya itu dapat berfungsi dalam hidup sehari-hari. Kebenaran adalah gagasan yang harus dapat berfungsi nyata dalam pengalaman praktis.” John Dewey (1859 – 1952) dalam (Syohih, 2008).

Nilai-nilai pendidikan berbasis agama manawarkan paradigma pendidikan dan pembelajaran sebagai bagian dari iman dengan tujuan untuk menyempurnakan ubudiyah kepada Allah dengan azaz yang cukup jelas yaitu sebagai kemaslahatan bagi umat manusia. Peserta didik yang memiliki motivasi yang dilandasai oleh nilai-nilai keagamaan dalam belajar dan bejerja, akan memiliki etos kerja dan kreativitas secara simultan, sebab dia bekerja dengan semangat yang terpaut dengan keyaninan dasar agama dan menganggap bahwa apa yang dilakukan adalah merupakan bentuk pengabdian kepada Allah (ibadah). Nilai-nilai ini justru sangat kurang diberikan oleh pengelola maupun fasilitator kepada peserta didik, karena orientasi yang terlalu menekankan pada materi-materi keterampilan, padahal materi ini saja tidak cukup jika mental warga belajar tidak dibekali dengan nilai-nilai yang mampu membuat mereka menjadi manusia mandiri

Kelemahan lain yang masih terasa dalam beberapa program pendidikan kecakapan hidup yang terjadi saat ini adalah pengelolaan lingkungan yang kurang baik. Hakekat pendidikan sebenarnya sebagai alat untuk menginternalisasikan nilai-nilai kurang terfasilitasi dengan baik, terutama dalam program pendidikan non formal. Instrumental input maupun enviornmental input pendidikan dalam program PNF kurang mendapat perhatian sebagai bagian yang penting dalam iklim pembelajaran. Jarang sekali ditemui media yang dapat memperkuat internalisasi nilai, seperti contoh tidak ada satupun slogan yang dipasang dalam ruang belajar yang berisi penguatan nilai seperti: “kejujuran adalah kunci kesuksesan” atau yang lainnya. Disamping itu penyelenggara juga tidak memberikan tauladan sebagai hiden curriculum yang mampu mempekuat internalisasi nilai-nilai tersebut, antara lain menyelenggarakan program tidak sesuai dengan pedoman, manipulasi data kegiatan, dan penyimpangan-penyimpangan lainnya, yang menyebabkan tujuan program itu sendiri tidak dapat terlaksana karena kelalaian pengelola program.

Tidak kalah penting adalah peran fasilitator dan tutor sebagai orang yang berhadapan langsung dengan peserta didik, dimana tutor dan fasilitator tidak dipersiapkan untuk mendidik dan membelajarkan peserta didik dengan nilai-nilai keagamaan maupun nilai-nilai pendidikan lainnya yang justru merupakan modal utama dari program pendidikan kecakapan hidup. Pertimbangan menjadi tutor lebih kepada kemampuan seseorang dalam memahami dan menguasai suatu materi tertentu, tanpa dipertimbangkan mengenai bagaimana seharusnya tutor disamping menyampaikan materi juga mampu menyisipkan nilai-nilai kewirausahaan berdasar keagamaan agar peserta didik dapat menjiwai apa yang mereka lakukan sebagai bagian dari ibadah dan pengabdian terhadap Tuhan.

Sabtu, 13 Juni 2009

Definisi Monitoring dan Evaluasi

1.      Definisi Monitoring

Beberapa pakar manajemen mengemukakan bahwa fungsi monitoring mempunyai nilai yang sama bobotnya dengan fungsi perencanaan. Conor (1974) menjelaskan bahwa keberhasilan dalam mencapai tujuan, separuhnya ditentukan oleh rencana yang telah ditetapkan dan setengahnya lagi fungsi oleh pengawasan atau monitoring. Pada umumnya, manajemen menekankan terhadap pentingnya kedua fungsi ini, yaitu perencanaan dan pengawasan (monitoring).

Kegiatan monitoring dimaksudkan untuk mengetahui kecocokan dan ketepatan kegiatan yang dilaksanakan dengan rencana yang telah disusun. Monitoring digunakan pula untuk memperbaiki kegiatan yang menyimpang dari rencana, mengoreksi penyalahgunaan aturan dan sumber-sumber, serta untuk mengupayakan agar tujuan dicapai seefektif dan seefisien mungkin. Berdasarkan kegunaannya, William Travers Jerome menggolongkan monitoring menjadi delapan macam, sebagai berikut:

1.    Monitoring yang digunakan untuk memelihara dan membakukan pelaksanaan suatu rencana dalam rangka meningkatkan daya guna dan menekan biaya pelaksanaan program.

2.   Monitoring yang digunakan untuk mengamankan harta kekayaan organisasi atau lembaga dari kemungkinan gangguan, pencurian, pemborosan, dan penyalahgunaan.

3.     Monitoring yang digunakan langsung untuk mengetahui kecocokan antara kualitas suatu hasil dengan kepentingan para pemakai hasil dengan kemampuan tenaga pelaksana.

4.    Monitoring yang digunakan untuk mengetahui ketepatan pendelegasian tugas dan wewenang yang harus dilakukan oleh staf atau bawahan.

5.     Monitoring yang digunakan untuk mengukur penampilan tugas pelaksana.

6.    Monitoring yang digunakan untuk mengetahui ketepatan antara pelaksanaan dengan perencanaan program.

7.    Monitoring yang digunakan untuk mengetahui berbagai ragam rencana dan kesesuaiannya dengan sumber-sumber yang dimiliki oleh organisasi atau lembaga.

8.      Monitoringyang digunakan untuk memotivasi keterlibatan para pelaksana.

Monitoring pada umumnya dilakukan baik pada waktu sebelum kegiatan pembinaan maupun bersamaan waktunya dengan penyelenggaraan pembinaan (pengawasan atau supervisi). Monitoring, pengawasan, dan supervisi memiliki perbedaan antara satu dengan yang lainnya. Pengawasan dilakukan terhadap orang-orang yang mengelola program. Supervisi dilakukan terhadap pelaksanaan program, sedangkan monitoring dilakukan terhadap komponen-komponen program. Monitoringselain berkaitan dengan pengawasan dan supervisi, mempunyai hubungan erat dengan penilaian program.

Monitoring sendiri dapat diartikan sebagai kegiatan untuk mengikuti suatu program dan pelaksanaannya secara mantap, teratur dan terus-menerus dengan cara mendengar, melihat dan mengamati, serta mencatat keadaan serta perkembangan program tersebut. Dalam seri monograf 3, UNESCO Regional Office for Education in Asia and teh Pasific, dijelaskan bahwa monitoring adalah upaya yang dilakukan secara rutin untuk mengidentifikasi pelaksanaan dari berbagai komponen program sebagaimana telah direncanakan, waktu pelaksanaan program sebagai mana telah dijadwalkan, dan kemajuan dalam mencapai tujuan program. Suherman dkk (1988) menjelaskan bahwa monitoring dapat diartikan sebagai suatu kegiatan, untuk mengikuti perkembangan suatu program yang dilakukan secara mantap dan teratur serta terus menerus.

Pengumpulan data atau informasi dalam monitoring dimaksudkan untuk mengetahui kenyataan yang sebenarnya dalam pelaksanaan program yang dipantau. Sasaran monitoring adalah kelangsungan program dan komponen-komponen program yang mencakup input, proses, output dan outcome. Pihak yang melakukan monitoring adalah pengelola program danatau tenaga profesional yang diberi tugas khusus untuk memonitor pelaksanaan program. Hasil monitoring digunakan untuk meluruskan atau memperbaiki program. Perbaikan program itu sendiri dilakukan dalam kegiatan supervisi, bukan dalam kegiatan monitoring.

Monitoring selain berkaitan dengan supervisi, juga mempunyai hubungan erat dengan evaluasi program. UNESCO (1982) mengidentifikasi lima kaitan dan perbedaan antara monitoring dan evaluasi. Pertama, fokus monitoring adalah pada program yang sedang dilaksanakan. Bukan pada konteks kegiatan yang harus dilakukan oleh pelaksana program. Sedangkan evaluasi sering dilakukan sejak perencanaan program. Kedua, monitoring menitikberatkan pada aspek kuantitatif dalam pelaksanaan program yang dapat menjadi bahan untuk kegiatan evaluasi. Evaluasi dapat melengkapi hasil monitoring dengan data tambahan yang diperlukan sesuai dengan tujuan evaluasi  yang mengarah pada aspek kualitatif. Monitoring berhubungan dengan dimensi kuantitatif tentang efektivitas program seperti banyaknya output program, sedangakn evaluasi lebih berkaitan dengan dimensi kualitatif tentang efektivitas program seperti sejauhmana output sesuai dengan norma atau standar yang telah ditentukan. Ketiga, monitoring mencakup usaha untuk mengidentifikasi faktor-faktor pendukung program, seperti faktor logistik, yang dapat membantu atau mempengaruhi penampilan program, sedangkan evaluasi mengarah pada upata menyiapkan bahan masukan untuk pengambilan keputusan tentang ketepatan perbaikan peluasan atau pengembangan program. Keempat, kontribusi yang dapat dimanfaatkan dengan segera dari hasil monitoring adalah untuk kepentingan pengelolaan program, sedangkan kontribusi evaluasi lebih terkait dengan pengambilan keputusan tentang penyusunan rancangan dan isi program. Kelima, monitoring dan evaluasi merupakan proses yang saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya. Walaupun tekannya berbeda, keduanya mempunyai arah yang sama yaitu untuk meningkatkan efektivitas program.

Tujuan utama monitoring adalah untuk menyajikan informasi tentang pelaksanaan program sebagai umpan balik bagi para pengelola dan pelaksana program. Informasi ini hendaknya dapat menjadi masukan bagi pihak yang berwenang untuk: a) memeriksa kembali strategi pelaksanaan program sebagaimana sudah direncanakan setelah membandingkan dengan kenyataan di lapangan, b) menemukan permasalahan yang berkaitan dengan penyelenggaraan program, c) mengetahui faktor-faktor pendungkung dan penghambat penyelenggaraan program.

Sebagaimana halnya dengan supervisi, monitoring dapat mengguanakan pendekatan langsung dan tidak langsung. Pendekatan langsung dilakukan apabila pihak yang memonitor melakukan kegiatannya pada lokasi program yang sedang dilaksanakan. Teknik-teknik yang sering digunakan dalam pendekatan ini adalah wawancara dan observasi. Kedua teknik ini digunakan untuk memantau kegiatan, peristiwa, komponen, proses, hasil dan pengaruh program yang dilaksanakan. Pendekatan tidak langsung digunakan apabila pihak yang memonitor tidak terjun langsung ke lapangan, namun dengan menelaah laporan berkala yang disampaikan oleh pada penyelenggara program, atau dengan mengirimkan kuesioner secara berkala kepada para penyelenggaranya atau pelaksana program.

Langkah-langkah pokok untuk melakukan monitoring adalah sebagai berikut. Pertama, menyusun rancangan monitoring, seperti untuk menghimpun data atau informasi tentang pelaksanaan program yang hasilnya akan dibagikan dan diserahkan kepada pengelola untuk memperbaiki pelaksanaan program, b) sasaran atau aspek-aspek yang akan dimonitor, c) faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan program, d) pendekatan metode, teknik dan instrumen monitoring, e) waktu dan jadwal kegiatan monitoring, dan f) biaya monitoring. Rancangan ini didiskusikan dengan pengelola dan penyelenggara program untuk memperoleh masukan bagi penyempurnaannya. Hasil penyempurnaan ini dapat disebut program monitoring. Kedua, melaksanakan kegiatan monoitoring dengan menggunakan pendekatan metode, teknik dan isntumen yangtela ditetapkan dalam langkah pertama. Ketiga, menyusun dan menyerahkan laporan monitoring kepada pihak pengelola atau penyelenggara program untuk digunakan bagi perbaikan atau pengembangan program.

 

2.      Definisi Evaluasi

Evaluasi program merupakan salah satu fungsi dari manajemen program, evaluasi program dilakukan terhadap seluruh atau sebagian unsur-unsur program serta terhadap pelaksanaan program. Evaluasi program harus dan dapat diselenggarakan secara terus menerus, berkala, dan atau sewaktu-waktu. Kegiatan evaluasi ini dapat dilakukan pada saat sebelum, sedang, atau setelah program dilaksanakan, evaluasi merupakan kegiatan yang bermaksud untuk mengetahui apakah tujuan yang telah ditentukan dapat dicapai, apakah pelaksanaan program sesuai dengan rencana, dan atau dampak apa yang terjadi setelah program dilaksanakan. Evaluasi program berguna bagi pengambil keputusan untuk menetapkan apakah program akan dihentikan, diperbaiki, dimodifikasi, diperluas atau ditingkatkan.

Evaluasi adalah merupakan salah satu fungsi dari manajemen, evaluasi dilakukan terhadap seluruh atau sebagian unsur-unsur program serta terhadap pelaksanaan program. Evaluasi dapat dilakukan secara terus menerus,  berkala dan atau sewaktu-waktu pada saat sebelum, sedang dan atau setelah program dilaksanakan. Evaluasi merupakan kegiatan penting untuk mengetahui apakah tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai, apakah program sesuai dengan rencana, dan atau dampak apa yang terjadi setelah program dilaksanakan.

Pengertian lain menyebutkan bahwa evaluasi adalah: “Evaluation is the process of determining the value or worth of a program, course, or other initiative, toward the ultimate goal of making decisions about adopting, rejecting, or revising the innovation. It should not be confused with assessment, which encompasses methods for measuring or testing performance on a set of competencies. Evaluation is the more inclusive term, often making use of assessment data in addition to many other data sources”. Evaluasi adalah proses untuk menentukan nilai atau harga dari sebuah program, kursus, atau prakarsa lainnya menuju pada tujuan akhir yaitu menghasilkan keputusan mengenai penerimaan, penolakan atau perbaikan inovasi. Berbeda dengan assessment atau penilaian, yang meliputi metode untuk mengukur atau menguji kinerja dalam suatu kompetensi. Evaluasi adalah istilah yang lebih menyeluruh, sering menggunakan data penilaian sebagai tambahan terhadap jenis data lainnya yang dijadikan sumber.

Tujuan evaluasi program berfungsi sebagai pengarah kegiatan evaluasi dan sebagai acuan untuk mengetahui efisiensi dan efektivitas kegiatan evaluasi program. Evaluasi pada umumnya berkaitan dengan upaya pengumpulan, pengolahan, analisis, deskripsi dan penyajian data atau informasi sebagai masukan untuk pengambilan keputusan (decision making). Berkaitan dengan tujuan evaluasi, Anderson (1978) merumuskan tujuan penilaian sebagai berikut:

1.      Memberi masukan untuk perencanaan program

2.      Memberi masukan untuk keputusan tentang kelanjutan, perluasan dan penghentian program

3.      Memperoleh informasi tentang faktor pendukung dan penghambat

4.      Memberi masukan untuk memahami landasan keilmuan bagi penilaian

Ada dua jenis evaluasi yaitu evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Evaluasi formatif menyediakan informasi untuk meningkatkan atau memperbaiki produk atau proses, sedangkan evaluasi sumatif menyediakan efektivitas jangka pendek atau informasi dampak jangka penjang untuk menentukan apakah akan mengadopsi atau tidak suatu produk atau proses. Evaluasi sumatif akan muncul jika suatu cara baru telah dilakukan atau diimplementasikan secara penuh dalam beberapa waktu bahkan tahun. Scriven (1967) adalah orang pertama yang membedakan antara evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Kemudian Stufflebeam juga membedakan sesuai di atas yaitu Proactive Evaluation untuk melayani pemegang keputusan dan Retroactive Evaluation untuk keperluan pertanggung jawaban. Evaluasi dapat mempunyai dua fungsi yaitu fungsi formatif, evaluasi dipakai untuk perbaikan dan pengembangan kegiatan yang sedang berjalan. Fungsi sumatif, evaluasi dipakai untuk pertanggung jawaban, keterangan, seleksi atau lanjutan. Jadi evaluasi hendaknya membantu pengembangan implementasi, kebutuhan suatu program, perbaikan program, pertanggungjawaban, seleksi, motivasi, menambah pengetahuan dan dukungan dari mereka yang terlibat.

Kriteria yang akan dipakai untuk menilai objek evaluasi meru[akan tujuan yang paling sulit dalam evaluasi. Apabila yang diacu hanya pencapaian tujuan, maka ini memang pekerjaan yang mudah, namun ini  baru pada sebagian dari pada isu kriteria evaluasi. Pencapaian tujuan-tujuan yang penting memang merupakan salah satu kriteria yang penting. Kriteria lainnya yaitu identifikasi kebutuhan dari klien yang potensial, nilai-nilai sosial, mutu dan efisiensi dibandingkan dengan objek-objek alternatif lainnya. Tampaknya ada persetujuan diantara ahli evaluasi bahwa kriteria yang dipakai untuk menilai suatu objek tertentu hendaknya ditentukan dalam konteks objek tertentu dan fungsi evaluasinya. Jadi hal-hal yang harus diperhatikan dalam menentukan kriteria-kriteria penilaian suatu objek adalah:

a.      Kebutuhan, ideal, dan nilai-nilai.

b.      Penggunaan yang optimal dari sumber-sumber dan kesempatan.

c.       Ketepatan efektivitas program.

d.      Pencapaian tujuan yang telah dirumuskan dan tujuan penting lainnya.

Beberapa istilah yang terkait dengan evaluasi di antaranya program, Audiensi, Instumen, data kualitatif dan kuantitatif.

Program adalah segala sesuatu yang dicoba lakukan oleh seseorang atau organisasi dengan harapan akan mendatangkan hasil atau pengaruh. Kadang-kadang informasi yang dikumpulkan digunakan untuk membuat keputusan tentang program itu misalnya bagaimana memperbaiki program, apakah akan diperluas atau dihentikan. Kadang-kadang informasi hanya berpengaruh secara tidak langsung terhadap keputusan, atau mungkin juga tidak dihiraukan sama sekali karena merugikan pimpinan. Terlepas bagaimana akhir dari kegunaannya suatu evaluasi program harus mengumpulkan informasi yang valid, yang dapat dipercaya, dan yang berguna untuk program yang dievaluasi.

Audiensi, evaluasi selalu mempunyai bermacam-macam audiensi (peminat, pemakai, pelanggan), audiensi yaitu orang yang secara langsung atau tidak langsung berurusan dengan evaluasi. Pada umumnya peminat untuk informasi yang dikumpulkan selama program berjalan terdiri atas perencana program, manajer program, dan karyawan yang menjalankan program. Peminat lainnya mungkin penerima layanan atau hasil evaluasi. Bila program itu akan dikembangkan lebih luas, atau akan diterbitkan ke surat kabar,  maka masyarakat juga menjadi audiensi. Jadi audiensi ialah sekelompok orang yang harus diperhitungkan apabila akan melakukan evaluasi.

Instrumen, intrumen termasuk tes, kuesioner, observasi, interview atau wawancara, laporan ceklis, dan alat-alat ukur lainnya. Data kualitatif dan kuantitatif, merupakan data yang berhubungan dengan informasi yang dikumpulkan dalam suatu evaluasi. Data kualitatif akan berupa atau berbentuk kata-kata atau keterangan tentang kejadian, transkrip wawancara , dan dokumen tertulis. Kata-kata harus dibaca untuk artinya dan iluminasi artinya, tafsiran kejadian dapat digambarkan sebagai tujuan pokok analisis data kualitatif. Data kuantitatif, data berupa angka-angka, analissi data kuantitatif berpendapat kalau ada ia akan berupa jumlah dan dapat diukur. Data kuantitatif memberi jawaban untuk pertanyaan: berapa? Samapi seberapa jauh? Dan berapa banyak? Sebagai tambahan analisis data kuantitatif mencari hubungan antara jumlah (kuantitas), misalnya sikap yang lebih positif terhadap program berhubungan dengan penerimaan informasi yang lebih banyak tentang program itu?

Kedua data tersebut biasanya dipelukan dalam evaluasi lengkap, masing-masing saling mendukung dan saling melengkapi. Data kualitatif sering ditransformasi menjadi data kuantitatif dengan prosedur koding,

Sabtu, 06 Juni 2009

perlunya mengenal pendidikan non formal lebih jauh

Dalam Undang-undang sistem pendidikan nasional nomer 20 tahun 2003 disebutkan bahwa, di Indonesia dikenal tiga jalur pendidikan yaitu pendidikan formal, pendidikan non formal dan pendidikan informal. Pendidikan non formal berfungsi sebagai pengganti, pelengkap dan penambah pendidikan formal. Apa arti dari semua itu? artinya fungsi pendidikan non formal adalah menyediakan kebutuhan belajar masyarakat yang tidak tertampung dalam wadah pendidikan formal.