Kamis, 06 Agustus 2009

Masalah dalam Pendidikan Non Formal

Memperoleh pekerjaan adalah impian banyak siswa maupun mahasiswa setelah mereka mampu menyelesaikan sautu jenjang pendidikan tertentu, hal ini tentu bukanlah hal yang keliru karena mindset masyarakat saat ini ketika menyekolahkan anak-anaknya adalah untuk dapat bekerja. Namun satu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah saat ini adalah kesempatan kerja yang tersedia sangatlah terbatas dan tidak berbanding serah dengan lulusan pendidikan. Kesenjangan antara lapangan pekerjaan dan lulusan institusi pendidikan inilah yang mendorong semua pihak untuk berfikir lebih dalam mengenai upaya mengatasi masalah ini. bukanlah hal yang mustahil jika setiap tahun jumlah pengangguran selalu mengalami peningkatan karena ketidak linieran jumlah lapangan kerja dan lulusan institusi pendidikan.

Pengangguran adalah merupakan masalah yang komplek, disamping sebagai akibat, pengangguran juga merupakan sebab dari masalah lainnya seperti tindak kriminal, kemiskinan, kemerosotan tingkat kesehatan, rendahnya tingkat pendidikan dan lain sebagainya, sehingga upaya untuk mengatasi masalah ini juga harus multi disiplin dan multi pendekatan. Bahkan pengangguran saat ini tidak hanya terjadi diperkotaan saja, melainkan sudah merambah ke daerah-daerah perdesaan di seluruh nusantara, yang memungkinkan pengangguran ini masuk dalam kategori masalah nasional yang harus segera diatasi agar tidak menjadi penghambat pembangunan.

Pemerintah saat ini tentu saja tidak tinggal diam, berbagai upaya telah dilakukan termasuk diantaranya dalam kebijakan pendidikan non formal. Saat ini Direktorat Pendidikan Non Formal dan Informal gencar melaksanakan program pendidikan kesetaraan dasar dan lanjutan yang terintegrasi dengan pendidikan kecakapan hidup, program tersebut diantaranya adalah program Kewirausahaan Usaha Mandiri untuk Keaksaraan Fungsional, program Kewirausahaan Desa dan Kewirausahaan Perkotaan untuk Kejar paket B dan C dan lain sebagainya. Tujuannya adalah agar warga belajar disamping mendapatkan ijazah pendidikan yang setara dengan pendidikan formal baik untuk tingkat SD, SLTP maupun SLTA, namun juga mendapatkan dukungan keterampilan yang diharapkan dapat dijadikan bekal bagi peserta didik di masyarakat setelah mereka menyelesaikan program pendidikan tersebut.

Program-program ini disamping melibatkan lembaga pemerintah seperti P2PNFI, BPKB, SKB namun juga melibatkan yayasan yang bergerak dalam bidang pendidikan masyarakat sebagai pelaksana program. Namun dalam kenyataannya program-program tersebut dilaksanakan hanya sebatas pada proyek semata, sehingga tidak ada keberlanjutan setelah proyek pemerintah berhenti. Dari beberapa kasus yang berhasil ditemui di lapangan terkait dengan pelaksanaan program PNF tersebut, tidak sedikit lembaga penyelenggara yang melaksanakan program kecakapan hidup atau kewirausahaan tanpa melalui pembekalan pendidikan terlebih dahulu dan cenderung berorientasi praktis, yang kemudian berdampak pada kemandekan dalam keberlanjutan program. Sebagai contoh yang terjadi di DIY pada tahun 2007 dalam program keakapan hidup budidaya ikan lele, lembaga penyelenggara hanya memanfaatkan bantuan pemerintah untuk membuat kolam lele tanpa memperhatian studi kelayakan infrastruktur maupun sarana dan prasarana penunjang, sehingga setelah beberapa minggu program tersebut berhenti dan yang tersisa hanya kolam ikan kosong.

Dalam kasus lain juga ditemui yayasan yang cukup bertanggung jawab dengan memberikan pembekalan pendidikan kewirausahaan dan materi yang berhubungan dengan bidang kecakapan hidup yang akan dilaksanakan sebelum praktik di lapangan. Hasilnya cukup berbeda, pada kasus pertama program sama sekali tidak memiliki dampak apapun terhadap masyarakat, namun pada kasus yang kedua, masyarakat dapat merasakan manfaat terutama dalam keterampilan yang diajarkan meskipun masih ada permasalahan terkiat dengan pemasaran produk.

Dari dua kasus di atas terlihat bahwa program yang saat ini dilaksanakan masih berorientasi pada penguatan materi kognitif pengetahuan, sementara nilai-nilai yang terkait dengan jiwa kewirausahaan kurang mendapatkan sentuhan, meskpun ada masih sangat terbatas. Baik di sadari atau tidak, pendidikan saat ini seringkali mengabaikan nilai-nilai terutama nilai keagamaan, bahkan cenderung dilupakan dan bahkan lambat laun semakin termarjinalkan dengan berbagai alasan. Padahal nilai-nilai spiritualitas merupakan puncak kesadaran tertinggi dari kehidupan manusia. Lebih jauh lagi, praktik pendidikan hanya memandang manusia sebagai instrumen fisik untuk mempertahankan ideologi yang saat ini dianut oleh dunia barat yaitu kapitalisme.

Salah satu indikator pendidikan saat ini untuk mempertahankan eksistensi paradigma kapitalisme adalah bahwa peserta didik hanya diarahkan untuk menjadi buruh atau tenaga kerja yang berkualitas, bukan semata untuk menjadikan manusia sebagai mahluk mandiri dengan cita-cita mulia yang tinggi, artinya output pendidikan saat ini dipersiapkan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang diskenariokan oleh negara-negara maju untuk mempertahankan eksistensi mereka di negara berkembang. Output keterampilan diarahkan pada kemampuan peserta didik untuk mampu melakukan sesuatu atau menghasilkan sesuatu tanpa dilandasi oleh nilai-nilai yang dapat berfungsi sebagai filter dan pedoman perilaku dalam bekerja.

Tidak dapat dipungkiri bahwa sanya ilmu-ilmu yang berkembang di negara maju banyak yang dikembangkan di negara-negara dunia ketiga bahkan di negara dengan penduduk mayoritas muslim, yang tentu saja bias dengan pandangan negara maju yang notabene adalah negara sekuler. Bahkan teori kebutuhan yang dikemukakan oleh Maslow tentang hierarki kebutuhan tidak menempatkan kebutuhan akan Tuhan (Allah) sebagai kebutuhan dasar manusia. Penggunaan istilah hukum alam dalam memandang fenomena alam adalah merupakan salah satu upaya pengingkaran peran Tuhan terhadap alam semesta, dimana sangat jarang ditemu seorang guru yang kemudian memberikan penyadaran kepada peserta didik bahwa alam semesta adalah sebagai sunatullah, bukan hanya hukum alam semata.

Hal di atas tentu bertentangan dengan esensi pendidikan yang dikemukakan oleh Jonh Dewey yang menyebutkan bahwa: “Anak didik tidak hanya disiapkan agar siap bekerja, tapi juga bisa menjalani hidupnya secara nyata sampai mati. Anak didik haruslah berpikir dan pikirannya itu dapat berfungsi dalam hidup sehari-hari. Kebenaran adalah gagasan yang harus dapat berfungsi nyata dalam pengalaman praktis.” John Dewey (1859 – 1952) dalam (Syohih, 2008).

Nilai-nilai pendidikan berbasis agama manawarkan paradigma pendidikan dan pembelajaran sebagai bagian dari iman dengan tujuan untuk menyempurnakan ubudiyah kepada Allah dengan azaz yang cukup jelas yaitu sebagai kemaslahatan bagi umat manusia. Peserta didik yang memiliki motivasi yang dilandasai oleh nilai-nilai keagamaan dalam belajar dan bejerja, akan memiliki etos kerja dan kreativitas secara simultan, sebab dia bekerja dengan semangat yang terpaut dengan keyaninan dasar agama dan menganggap bahwa apa yang dilakukan adalah merupakan bentuk pengabdian kepada Allah (ibadah). Nilai-nilai ini justru sangat kurang diberikan oleh pengelola maupun fasilitator kepada peserta didik, karena orientasi yang terlalu menekankan pada materi-materi keterampilan, padahal materi ini saja tidak cukup jika mental warga belajar tidak dibekali dengan nilai-nilai yang mampu membuat mereka menjadi manusia mandiri

Kelemahan lain yang masih terasa dalam beberapa program pendidikan kecakapan hidup yang terjadi saat ini adalah pengelolaan lingkungan yang kurang baik. Hakekat pendidikan sebenarnya sebagai alat untuk menginternalisasikan nilai-nilai kurang terfasilitasi dengan baik, terutama dalam program pendidikan non formal. Instrumental input maupun enviornmental input pendidikan dalam program PNF kurang mendapat perhatian sebagai bagian yang penting dalam iklim pembelajaran. Jarang sekali ditemui media yang dapat memperkuat internalisasi nilai, seperti contoh tidak ada satupun slogan yang dipasang dalam ruang belajar yang berisi penguatan nilai seperti: “kejujuran adalah kunci kesuksesan” atau yang lainnya. Disamping itu penyelenggara juga tidak memberikan tauladan sebagai hiden curriculum yang mampu mempekuat internalisasi nilai-nilai tersebut, antara lain menyelenggarakan program tidak sesuai dengan pedoman, manipulasi data kegiatan, dan penyimpangan-penyimpangan lainnya, yang menyebabkan tujuan program itu sendiri tidak dapat terlaksana karena kelalaian pengelola program.

Tidak kalah penting adalah peran fasilitator dan tutor sebagai orang yang berhadapan langsung dengan peserta didik, dimana tutor dan fasilitator tidak dipersiapkan untuk mendidik dan membelajarkan peserta didik dengan nilai-nilai keagamaan maupun nilai-nilai pendidikan lainnya yang justru merupakan modal utama dari program pendidikan kecakapan hidup. Pertimbangan menjadi tutor lebih kepada kemampuan seseorang dalam memahami dan menguasai suatu materi tertentu, tanpa dipertimbangkan mengenai bagaimana seharusnya tutor disamping menyampaikan materi juga mampu menyisipkan nilai-nilai kewirausahaan berdasar keagamaan agar peserta didik dapat menjiwai apa yang mereka lakukan sebagai bagian dari ibadah dan pengabdian terhadap Tuhan.